Teks Foto : Suasana sepi saat Lebaran pertama di ruas tol Cikampek-Palimanan, Subang, Jawa Barat, Minggu (24/5/2020). Pemerintah memberlakukan larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19 melalui Operasi Ketupat 2020. Kendaraan pribadi baik motor atau mobil dan kendaraan umum berpenumpang dilarang keluar dari wilayah Jabodetabek.(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Yoga Sukmana
JAKARTA, KOMPAS.com - PT Astra International Tbk (ASII) memiliki lini bisnis di bidang infrastruktur, khususnya jalan tol. Lewat anak usahanya, Astra Infra, kini pereseroan sudah punya 6 jalan tol di Indonesia. Keenamnya yakni Jalan Tol Tangerang-Merak, Kunciran-Serpong, Cikopo-Palimanan (Cipali), Semarang-Solo, Jombang-Mojokerto dan Surabaya-Mojokerto. Sebenarnya, Astra yang telah berdiri sejak 1957 di Indonesia lebih dikenal dengan bisnis otomotifnya. Perusahaan membawahi penjualan sepeda motor merek Honda dan mobil mulai dari merek Toyota, Daihatsu, BMW, hingga Peugeot.
Namun, sayap bisnisnya melebar ke infrastruktur jalan tol, yang mencakup konsesi pembangunan dan pengelolaan jalan tol. Presiden Komisaris Astra International Prijono Sugiarto mengungkapkan, ada alasan dibalik perseroan yang kini melirik lini bisnis jalan tol. Prijono menjelaskan, saat ia menduduki posisi stategis direksi yakni sebagai Direktur Astra tahun 2001-2010 dan Presiden Direktur Astra tahun 2010-2020, dirinya berupaya menyeimbangkan pendapatan perseroan tidak hanya dari penjualan otomotif. "Saya ingin mem-balance dengan recurring income (pendapatan yang didapat tanpa melakukan penjualan dan sifatnya berulang) yang selalu kami dapatkan, pendapatan yang reguler," ungkapnya dalam diskusi virtual MarkPlus, Selasa (25/8/2020).
Ia mengatakan, saat Astra akan masuk ke bisnis jalan tol, banyak pemegang saham yang mempertanyakan aksi korporasi tersebut. Lantaran, keuntungan dari jalan tol baru bisa didapatkan dengan waktu cukup lama yakni setidaknya setelah 5 tahun. "Tapi dari awalnya kami punya 1-2 jalan tol, dan menjadi 6 jalan tol, sekarang mereka (pemegang saham) yang bahkan nanyain lagi, ada opportunity (peluang) lagi enggak untuk masuk ke sana," ucapnya. Prijono mennyatakan, jalan tol merupakan bisnis yang menguntungkan dan mendatangkan pendapatan yang tetap dan berulang bagi Astra.
a berkisah, pada tahun 2005 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih di sekitar 1.000-1.200 dollar AS per kapita. Saat itu, pemerintah memutuskan mengurangi subisidi bahan bakar minyak (BBM), hingga membuat harganya naik 100 persen. Imbasnya adalah industri otomotif anjlok di tahun berikutnya. Ia bilang, pada tahun 2006 penjualan otomotif langsung jatuh 40 persen. Oleh sebab itu, ia ingin Astra memiliki lini bisnis yang tidak hanya bergantung pada penjualan. "Nah ini kami imbangi antara recurring yang bisa selalu menjadi pendapatan yang pasti buat Astra, dengan pendapatan yang bergantung dengan purchasing power (daya beli), inflasi, dan kondisi ekonomi lainnya," jelas dia.
Ia mengakui, di tengah kondisi pandemi Covid-19 bisnis jalan tol turut terdampak karena adanya pemberlakukan PSBB oleh pemerintah. Di samping juga, banyak masyarakat yang memilih untuk mengurangi perjalanan guna menekan potensi penularan virus corona. Tapi lagi-lagi Prijono melihat bisnis jalan tol memiliki peluang yang bisa lebih cepat untuk pulih ketimbang lini bisnis lainnya, seperti otomotif. Pengguna jalan tol diyakini akan kembali meningkat. Mengingat pemerintah telah melakukan pelonggaran PSBB. Di sisi lain, di era new normal ini masyarakat juga akan lebih suka melakukan perjalanan menggunakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum.
"Berangsur-angsur jalan tol pulihnya akan lebih cepat, karena pada akhirnya orang enggak betah di rumah, setidaknya harus keliling-keliling. Bahkan, seperti yang di daerah Jawa Tengah, itu enggak ada yang berani naik kendaraan umum, jadi naik mobil mereka lewat Cipali atau lewat Semarang-Solo, yang itu tolnya punya Astra," paparnya. Berinvestasi di jalan tol diakuinya memang membutuhkan permodalan yang besar. Setidaknya, sudah lebih dari Rp 15 triliun Astra mengalokasikan investasinya untuk bisnis jalan tol. Namun, Prijono menekankan sekalipun dananya besar tetapi imbal hasil yang didapatkan juga cukup baik bagi perseroan. Oleh sebab itu, kedepannya Astra akan terus menambah kepemilikan jalan tol.
"Memang terlihat bahwa yang namanya jalan tol itu investasinya tinggi, tapi return-nya ini cukup menggiurkan," imbuh dia. Ia menambahkan, sekalipun sektor infrastruktur turut tertekan di tengah pandemi, tapi itu bukan berarti Astra perlu berhenti untuk membidik peluang di sektor ini. Malahan, kata dia, perseroan akan terus mencari peluang untuk menambah portofolio investasinya di jalan tol. "Kami akan terus lah, jangan karena pandemi ini malah berhenti untuk melihat, apalagi yah kami juga punya cash yang cukup kuat. Itulah yang sebabkan kami investasi di infrastruktur jalan tol, dibandingkan infrastruktur yang lainnya," ungkap Prijono.
Untuk diketahui, kinerja keuangan Astra sepanjang semester I-2020 memang turut terpengaruh pandemi, namun demikian perseroan masih mampu membukukan laba bersih. Sepanjang Januari-Juni 2020, Astra mengantongi laba bersih sebesar Rp 11,4 triliun. Nilai itu naik 16 persen dibandingkan periode sama tahun lalu, lantaran ditopang hasil penjualan saham Bank Permata. Tapi, tanpa penjualan tersebut laba bersih Astra hanya Rp 5,5 triliun di semester I-2020 atau turun 44 persen dari semester I-2019.